27 Oktober, 2012 adalah hari di mana paspor pertamaku
jadi, senangnya luar biasa, aku merasa teramat gaul kala itu. Ingin rasanya aku
jadi cover model tabloid Gaul. Yah walau fotonya kucel ditambah pipi tembem
banget dan mata sayu, tapi nggak masalah yang penting punya deh. Selang sebulan
aku mulai merencanakan liburan bersama kakak dan teman kakakku. Tiket promo
Jogja-KL, KL-Palembang untuk Januari 2013 sudah ada di genggaman (500 RIBU PP).
Saatnya membuat itinerary perjalanan.
Sebagai traveler pemula (sekarang juga masih pemula sih)
atau lebih pantas disebut turis ala-ala, menyiapkan perjalanan dengan matang
itu perlu banget. Mulai dari browsing tempat apa saja yang ingin dikunjungi,
buat perkiraan budget, booking penginapan, mempelajari rute serta transportasi
apa saja yang bisa digunakan hukumnya wajib ain. Bahkan udah persiapan matang pun
kadang tetap saja nggak terhindar dari
kesalahan-kesalahan kecil. Lebih tepatnya bukan kesalahan sih tapi
pembelajaran. Ini beberapa kesalahan pelajaran yang aku dapatkan di
perjalanan cap paspor pertamaku di Malaysia.
Ketipu supir Taxi di Kuala Lumpur tengah malam,
kejadian pertama saat tiba di tanah Malaysia
20 Januari 2013, Pkl.22:00 waktu Kuala
Lumpur, kami naik bus dari bandara ke penginapan, perjalanan sekitar 1,5 jam.
Sebelum naik bus kami sudah bilang ke supir untuk diturunkan di hotel Xx (aku
lupa namanya, maaf ya). Saat supir bilang sudah sampai, kami dengan ngantuk-ngantuknya
langsung turun gitu aja. Saat turun malah bingung sendiri karena hotelnya nggak
keliatan, maklum itu memang hotel kecil. Karena bingung dan sudah tengah malam,
kami memilih bertanya pada supir taxi, lebih tepatnya nggak ada pilihan lain.
Supir-supir taxi menyambut kami dengan suka cita, ada yang menjawab masih jauh
dan menawarkan mengantarkan kami, dengan tariff mahal tentunya. Setelah
berkali-kali nawar, akhirnya ada taxi yang memberi harga 15 ringgit atau
sekitar 50ribu rupiah.
Selama perjalanan sang supir mengalihkan
perhatian kami dengan asik ngajak ngobrol. Tapi kami sadar kalau kami hanya
diajak mengitari tempat yang sama, kemudian diturunkan di hotel Xx yang
ternyata ada di belakang bangunan tinggi tempat kami turun sebelumnya. Sang
supir taxi yang keturunan India menampakkan wajahnya yang sedang menahan tawa,
sambil meminta bayaran 15 ringgit. Padahal kami harusnya tinggal nyebrang doang.
Lesson learned: Sebelum turun dari bus
pastikan tanya sejelas-jelasnya ke supir busnya, jangan asal turun dan tanya ke
supir taxi. Tapi kalau sekarang udah nggak susah sih karena ada GPS.
Jalan-jalan bukan sekedar gaya-gayaan, jadi
nggak perlu dandan berlebihan yang penting nyaman!
Saat itu Blackberry Messenger sedang pada
masa kejayaannya, bisa gonta-ganti DP BBM dengan foto yang epic nan syantieq
jadi kebiasaan banyak orang, termasuk aku. Mulailah memilah-milah outfit lucu
buat jalan hari pertama, pilihanku jatuh pada konsep monokrom yang anggun (suka-suka elu deh Har). Pakai rok (pinjem punya Mba Kiki), pakai pashmina motif
Zebra lengkap dengan ciput ninja, kaos hitam ditambah ornamen kalung vintage,
dan hand bag (lagi-lagi punya mba kiki). Bukan kayak mau traveling, aku
malah lebih cocok untuk datang ke acara arisan. Kebayang nggak sih gerahnya
kaya apa? Cantik nggak ribet iya.
Saat itu kami ke Batu Caves yang punya
ratusan anak tangga, pakai rok yang agak sempit itu kebayang nggak sih ribetnya
ngelangkah gimana? Mana tangan berat sebelah pakai tas begitu. Super nggak
praktis, dan di hari pertama aku jadi ngerasa capek banget, karena ribet dan
nggak nyaman.
Besoknya aku memilih pakai outfit yang biasa
aja, pakai kaos, celana jeans, jilbab paris, sepatu crocs, dan tas ransel kecil.
Aku benar-benar merasa jadi diri sendiri saat itu, aku nggak peduli hasil
fotonya bagus atau nggak, yang penting nyaman dan menyenangkan.
NB: ini bukan berarti aku menentang pakaian
syari’i atau pakai rok saat traveling ya, tapi ini soal niat dan kenyamanannya.
Kalau niatmu jalan-jalan pakai rok dan jilbab syari’i semata-mata karena Allah dan
kamu nyaman mengenakannya, ya itu jauh lebih bagus, asal niatnya jangan kayak
aku dulu aja :(
Lesson learned: Traveling itu pemuas jiwa
bukan pemuas feeds di sosial media, jadi dibawa enjoy aja. Pilih outfit yang
paling membuatmu nyaman bukan sekedar buat gaya-gayaan di timeline. Kecuali
kalau kamu selebgram ya, itu lain cerita.
Terpisah dari Mba Kiki dan Mba Nobi di KRL. Saat
aku masuk pintu KRL tertutup, mereka panik, aku panik, koko-koko sebelahku
ikutan panik. Lah?
Naik KRL pada jam pulang kerja tentu sedang
padat-padatnya. Aku dituntut untuk gerak cepat dan siap berdesak-desakan. Saat
itu di tengah keramaian dan keganasan orang yang berebut naik KRL, aku akhirnya
bisa naik. Sayangnya saat aku balik badan ternyata pintuk KRL langsung tertutup
padahal Mba Kiki dan Mba Nobi belum masuk. Sontak mereka kaget, aku pun ikutan
kaget, tapi lebih kaget saat aku tengok ke sebelahku ternyata koko-koko ‘kwetiau’
sebelahku ikutan kaget-melihat-kekagetan-kami.
Karena terpisah dan aku nggak punya nomor
di sana, sepanjang jalan aku langsung mempelajari rute KRL. Kami masih harus
transit 2x. Turun di transit station yang pertama, aku memilih berdiri menunggu
mereka. Untungnya nggak lama mereka keluar juga, dengan heboh tentunya.
Lesson learned: Jangan mengandalkan satu
orang, setiap orang harus paham rute dan tahu tujuan, karena kamu nggak pernah
tahu kapan akan terpisah dari rombongan. Jadi kamu juga nggak perlu panik kalau
nyasar di negeri orang, kalau cuma kaget aja boleh sih hahaha.
Nyasar, kemudian debat panjang, justru membawa
kami ke tempat yang aku inginkan.
 |
Bangunan Sultan Abdul Samad-Dataran Merdeka |
Saat di pesawat aku melihat-lihat majalah
Air Asia, mataku tertuju pada gambar bangunan kerajaan di salah satu
halamannya. Di sana tertulis terletak di Kuala Lumpur. Sontak aku memberitahu
Mba Kiki, aku ingin ke sana. Tapi dia bilang dia nggak tau itu di mana, nggak
ada di itinerary, hmm baiklah. 2013 nyari info di internet nggak segampang
sekarang, jadi aku memilih mengurungkan niat.
Hari ke-3 perjalanan kami di KL, kami ingin
shalat di Masjid Jamek tapi kami malah salah turun di 1 station sebelumnya, dan
kami menyadarinya setelah keluar dari station. Alhasil kami harus jalan kaki agak jauh menuju masjid Jamek. Dengan ke-sotoy-anku, kami bukannya mendekati masjid justru
semakin jauh. Sempat berdebat juga kala itu, sampai kami menyadari bahwa kami
sampai di depan bangunan ini, bangunan yang ada di gambar yang kulihat di
pesawat. Aku senang luar biasa, siapa sangka tempat yang aku ingin banget tapi
nggak ada di itinerary justru jadi destinasi kami.
Lesson learned: Terkadang kita memang perlu
nyasar untuk mendapat pengalaman yang lebih berkesan, asal abis itu tahu jalan
pulang.
Dimarahin kakek-kakek keturunan Tionghoa penjual
pisau saat mencari penginapan di Malaka
Saat itu kami mencari penginapan bernama guest house xx
(aku lupa namanya) di Malaka. Review di Agoda bagus makanya kami ingin menginap
di sana. Namun di Agoda informasi lokasinya hanya dijelaskan berada di dekat
sungai. Lah ternyata saat kami tiba di Malaka ya memang guest house-guest house
di sana letaknya ya di sepanjang tepian sungai semua. Karena bingung tempatnya yang
mana, kami bertiga berpencar dan bertanya pada warga sekitar. Aku memilih
bertanya pada kakek-kakek berwajah oriental di gang kecil yang tengah duduk sambil berjualan.
Well, walaupun ini 5 tahun lalu tapi aku
nggak akan lupa detil percakapannya.
I : Excuse me, do you know xx Guest
house?
SK (Sang Kakek) : what do you want to
do? (tanya SK dengan wajah jutek)
I : I want to stay overthere (jawabku
ragu)
SK : CAN YOU SEE THIS ONE??? (sambil
menunjuk pisau jualannya)
I : …………. okay, thank you (buru-buru melipir)
Rupanya sang kakek adalah penjual pisau yang kayaknya sepi pengunjung, mungkin dia sempat khuznudzon kalau aku menghampirinya
untuk beli pisau, tapi setelah tahu aku tanya alamat sang kakek jadi makin bête.
Lesson learned: memang sih malu bertanya
sesat di jalan, tapi ada hal yang tak boleh dilupakan yakni bertanyalah pada
orang tepat atau sekiranya siap menjawab. Jangan asal tanya!
Guest house hasil asal pilih justru jadi awal
pertemuan aku dan Kevin, sahabat--tempat sampah--sekaligus partner jalan-jalan--sampai sekarang
 |
Busan, 2015 |
Akhirnya kami nggak jadi menginap di guest house yang kami
incar sebelumnya, untungnya belum booking. Karena menyerah kami
memilih menginap di guest house yang lain. Tapi siapa sangka, guest house
tersebut membawaku bertemu Kevin untuk pertama kalinya. Walau di sana kami nggak banyak bertegur sapa, saat kembali ke Indonesia ternyata kami tergabung di organisasi yang sama, BEM KM UGM. Dari sana kami kemudian bergabung ke Komunitas Muda Menginspirasi, yang akhirnya membawaku jadi ketua dan dia wakilnya. Kevin sampai
sekarang jadi sahabat sekaligus tempat sampahku curhat galau-galauan, partner
jalan-jalan dan partner bikin event-event seru di
luar negeri. Ahh, memang ya selalu ada kejadian tak terlupakan dari sebuah
perjalanan.
Jadi kapan kamu mulai jalan-jalan dan mengisi cap
paspor pertamamu? Nggak perlu yang mahal kok, kamu bisa arrange liburan murah tapi
tetap berfaedah.